Mencecap Pengalaman “Buntet” di Hutan Rimba
Buku ini menunjukkan
bahwa belajar tidak hanya bisa dilakukan di ruang-ruang ber-AC dan berbiaya
mahal. Butet, peraih gelar S-2 bidang Antropologi Terapan dan Pembangunan
Partisipatif di Autralian National University, Canberra, ini memberikan bukti
riil bahwa pengalaman adalah guru terbaik bagi siapa pun. Bukan hanya bagi
orang-orang rimba yang, oleh kebanyakan orang disangka tidak “berpendidikan”.
Melainkan juga bagi dirinya sendiri, seorang yang secara akademik menempuh
jenjang pendidikan hingga perguruan tinggi.
Ya, buktinya
“Buntet”, demikian anak-anak rimba memanggil Butet, belajar banyak hal di sana.
Apa yang dirasakan oleh Buntet selama bertahun-tahun hidup di hutan Rimba bisa
menjadi pembelajaran penting. Ia harus mengubah gaya hidup di kota yang serba
ada.
Di Rimba, ia harus menyesuaikan diri, mulai dari lingkungan, sikap-sikap orang rimba, cuaca, hingga tempat tinggal. Singkatnya, perubahan situasi yang didapatkan Butet sangat mencolok jika harus membandingkan antara keduanya.
Di Rimba, ia harus menyesuaikan diri, mulai dari lingkungan, sikap-sikap orang rimba, cuaca, hingga tempat tinggal. Singkatnya, perubahan situasi yang didapatkan Butet sangat mencolok jika harus membandingkan antara keduanya.
Awalnya, sesampai di
hutan rimba, Butet sempat dihinggapi keraguan. Akankah situasi yang baru
tersebut bisa diterimanya? Di kota tempatnya tinggal, segala sesuatu bisa
didapatkan dengan mudah. Tanpa harus bersusah payah, asalkan memiliki uang
melimpah. Namun, di hutan itu, ia harus menyesuaikan diri sekeras mungkin. Ia
harus rela tidur di tempat yang ala kadanya. Tempat yang jorok, hutan yang
tidak rapi pernah membuatnya berkecil hati, bisakah ia bertahan. Akhirnya, ia
sadar bahwa justru karena hutan memiliki keadaan yang tidak menyenangkan lah
alasan Butet ke sana. Ia memantapkan niat bahwa pada tahap yang seperti itu
cintanya tengah diuji, hal 13.
Setelah cukup lama
tinggal bersama dengan orang rimba, Butet merasa kasihan dengan kondisi yang
tengah mereka alami. Tidak hanya kondisi fisik, tapi juga kondisi mental.
Banyak sekali kejadian yang dialami oleh orang rimba yang tertipu oleh orang
kota. Contohnya, ketika orang rimba melakukan transaksi jual beli hasil kayu.
Orang rimba yang tidak pernah menguasai hitung-menghitung kerap kali ditipu,
hal 65. Hal ini mencemaskan Butet, hingga akhirnya dia bersama kawan-kawannya
berinisiatif untuk mendidik mereka.
Niat baik itu tidak
berjalan mulus. Banyak rintangan yang harus dihadapi. Rintagan paling membuat
Butet berkecil hati justru datang dari orang rimba itu sendiri. Pasalnya, niat
baik Butet untuk mendidik anak-anak rimba justru disangka akan memperarah
keadaan. Orang rimba akan menjadi orang lain, menuru mereka. Butet mencoba
menjelaskan itu. Ia tidak mau, orang rimba ditipu karena ketidaktahuan mereka.
Butet memberikan analogi, mau sampai kapan hasil jerih payah orang rimba tidak
dihargai dengan yang sepantasnya oleh orang luar/kota. Lewat celah itu,
awalnya, sokola (baca: sekolah) rimba bermula.
Akhirnya, anak-anak
rimba merasa tidak rela menjadi korban dari orang luar. Mereka berhak atas
jerih payah yang dikeluarkan. Kebutaakasaran tidak lantas membuat mereka terus
diekplotasi dalam jangka waktu yang lama. Mereka ingin memutus lingkaran setan
penipuan itu. Pada titik ini, mereka tersadarkan bahwa “pendidikan” memang
penting. Pendidikan di sini tidak diasosiasikan dengan lembaga formal layaknya
sekolah-sekolah di kota. Melainkan konsep sederhana yang bisa memberikan
kemawasan terhadap orang-orang rimba. Setidaknya memberikan kesadaran bahwa ada
bahaya yang mengancam mereka. Hal itu akan semakin tidak bisa diprediksikan
jika mereka tidak bisa menyiasati potensi tersebut.
Maka, dengan berbagai
pertimbangan yang ketat, orang-orang rimba menerima “pendidikan” yang
disodorkan dengan diam-diam oleh Butet. Gayung bersambut, Butet pun memberikan
berbagai macam pancingan. Awalnya memang tidak mudah mengenalkan orang-orang
rimba dengan hal-hal baru. Bahkan, untuk membaca arah jam tangan saja, mereka
tidak mengetahui. Namun, seiring dengan waktu, Butet menyadari bahwa potensi
orang-orang rimba untuk, setidaknya, mempertahankan diri dari gempuran orang
luar sangat besar. Mereka bisa mempertahankan identitas mereka sendiri dengan
budaya-budaya lokal yang dimiliki.
Sokola Rimba memberikan gambaran
riil mengenai perjuangan Butet dan orang-orang memperjuangkan eksistensi
mereka. Di tengah gemerlap dunia luar, ternyata, banyak kearifan lokal yang
masih bercokol kuat. Dalam hal ini, antara Butet dan orang-orang rimba saling
memberikan pembelajaran. Jika Butet memberikan pelajaran untuk menghadapi
orang-orang luar, di saat yang bersamaan, orang-orang memperlihatkan cara alami
bagaimana hidup dan bersatu dengan alam yang indah itu.
Judul: Sokola Rimba
Penulis: Butet Manurung
Penerbit: Kompas, Jakarta
Terbit: Pertama, 2013
Tebal: 347 halaman
Dimuat di Koran Jakarta, 16 Desember 2013
Judul: Sokola Rimba
Penulis: Butet Manurung
Penerbit: Kompas, Jakarta
Terbit: Pertama, 2013
Tebal: 347 halaman
Dimuat di Koran Jakarta, 16 Desember 2013
0 komentar:
Post a Comment