Kisah Dinas Intelejen Hindia Belanda
Akhir-akhir santer terdengar penyadapan
yang dilakukan oleh Australia terhadap sejumlah pejabat Indonesia, termasuk
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu sangat mencederai wajah bangsa ini.
Insiden itu menunjukkan sisi lemah Indonesia di mata dunia internasional.
Pada dasarnya, kisah intelejen di
nusantara sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia terbentuk. Buku ini berisi
tentang aksi badan intelejen bentukan pemerintah kolonial. Tujuannya untuk
meredam pergerakan yang digagas oleh orang-orang pribumi.
Di saat itu, bangsa Indonesia tengah berusaha untuk menggagas sebuah kemerdekaan. Dimuali dari diskusi-diskusi kecil hingga mendirikan komunitas yang membuat telinga kolonial bermerah muka.
Adalah Politieke Inlichtingen Dienst (PID) cikal bakal dinas intelejen yang memata-matai hampir semua pergerakan tokoh pribumi. Dinas keamanan bangsa kolonial tersebut pada akhirnya berubah nama setelah hidup selama beberapa tahun. PID didirikan pada 6 Mei 1916, dibubarkan pada 3 April 1919.
Di saat itu, bangsa Indonesia tengah berusaha untuk menggagas sebuah kemerdekaan. Dimuali dari diskusi-diskusi kecil hingga mendirikan komunitas yang membuat telinga kolonial bermerah muka.
Adalah Politieke Inlichtingen Dienst (PID) cikal bakal dinas intelejen yang memata-matai hampir semua pergerakan tokoh pribumi. Dinas keamanan bangsa kolonial tersebut pada akhirnya berubah nama setelah hidup selama beberapa tahun. PID didirikan pada 6 Mei 1916, dibubarkan pada 3 April 1919.
Meskipun secara resmi telah dibubarkan,
cikal bakal dinas intelejen yang diniatkan menjadi mata-mata itu
bermetamorfosis dengan nama lain. Peristiwa pembubaran PID berubah bumerang
bagi pemerintah Hindia Belanda. Muncul gejolak pasca pembubaran berupa
pergolakan dari kalangan pribumi yang sudah merasakan atmosfer kebebasan.
Takut gejolak tersebut membesar dan
mengancam kekuasan pemerintah kolonial melahirkan dinas intelejen dengan versi
baru. Mereka menamainya dengan sebutan Algemeene Recherche Dienst (ARD).
Meskipun muncul untuk merespon pergerakan yang dari kalangan pribumi pasca
dibubarkan dinas yang pertama, ARD memiliki ruang gerak yang leluasa. Lahan
geraknya melampaui pendahulunya. Hal itu tidak lain karena pihak Hindia Belanda
ingin memastikan bahwa kekuasaannya tetap aman.
Pihak ARD memasok semua informasi yang
berkaitan tentang pergerakan apapun, dari yang terkecil hingga yang terbesar.
Dari mengawai diskusi-diskusi biasa hingga menyoroti organisasi besar semacam
Boedi Oetomo, Serikat Islam, dan Pergerakan Nasional. ARD diketuai oleh mantan
kepala komisaris kelas satu Batavia, A. E. van der Lely. Lely memiliki tugas
mengumpulkan, menyusun, memilah-milah, merangkai laporan resmi dari kalangan
pribumi, hal 33.
Untuk meningkatkan kinerja, Lely
mengangkat dua pejabat baru khusus ARD. Pertama, wakil-kepala Eropa, B.R. van
der Most. Kedua, seorang pegawai pribumi
dengan pangkat dan gelar Wedana, Mohammad Jatim. Penngakatan dua pegawai dengan
identitas berbeda tersebut bukan tanpa alasan. Hal itu, menurut Allan Akbar,
sebagai bentuk strategi politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial.
Utamanya strategi perekrutan Jatim. Tujuannya untuk bisa menghubungkan antara
masyarakat dengan pemimpin langsung ARD.
Allan Akbar, alumnus Ilmu Budaya
Universitas Indonesia ini menegaskan meskipun ARD memiliki umur yang lebih
panjang dibandingkan dengan PID, namun di kalangan masyarakat pribumi
popularitas PID jauh lebih dikenal dibandingkan ARD. Tercatat eksistensi ARD dimulai
dari tahun 1919 hingga 1934.
Buku ini memberikan gambaran kepada
pembaca bahwa narasi intelejen di Indonesia sudah ada sejak lama. Peran
keberadaan mereka sama, yakni memberikan informasi kepada pemerintah yang
sedang berkuasa. Jika dulu PID/ARD memberikan informasi kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk menyokong kekuasaan dan menjajah bangsa pribumi. Kisah
yang dituturkan Allan mengorek luka, tapi sekaligus menyalakan lilin yang sudah
lama padam.
Sekarang, intelejen di Indonesia harus
menata kembali tujuannya. Setidaknya, informasi yang didapatkan dari masyarakat
akar rumput tidak hanya menjadi sekadar informasi yang disetorkan kepada pihak
pemerintah. Lebih dalam dari itu, sebaiknya, pihak intelejen juga memberikan
gerakan nyata bagi tumbuh-kembangnya banga Indonesia semakin progresif, baik di
tataran ekonomi, kebudayaan, dan kerukunan umat beragama.
Judul: Memata-matai Kaum Pergerakan
Penulis: Allan Akbar
Penerbit: Marjin Kiri, Jakarta
Terbit: pertama, 2013
Tebal: 117 halaman
Judul: Memata-matai Kaum Pergerakan
Penulis: Allan Akbar
Penerbit: Marjin Kiri, Jakarta
Terbit: pertama, 2013
Tebal: 117 halaman
Dimuat di Koran Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment